GameFy– Sebuah siklus? Sebuah strategi yang nyatanya berhasil? Atau memang rutinitas yang mau tidak mau harus dilalui untuk mengusir rasa bosan yang mungkin terjadi? Apapun itu, sepertinya tidak berlebihan untuk menyebut bahwa ada sebuah runtut konsisten yang ditawarkan Capcom di setiap rilis Resident Evil utama, terutama untuk setiap trilogi. Di awal ia akan punya cita rasa horror kental, diikuti dengan seri yang memperkenalkan elemen action untuk mengimbanginya, dan kemudian berakhir jadi game action yang lebih dominan. Tren yang sama jugalah yang diperlihatkan Capcom lewat transisi dari Resident Evil 7 ke seri teranyarnya – Resident Evil Village.

Bahwa di beberapa jam awal permainan kami, kami bisa mengamini komparasi dengan Resident Evil 4 yang sudah didengungkan Capcom sudah jauh-jauh hari. Anda akan dipersenjatai cukup solid dari awal permainan, melawan banyak musuh di beragam tempat, menuai reward untuk ditukarkan di merchant atas nama untuk memperkuat si karakter utama – Ethan, dan mengulangi siklus serupa hingga akhir permainan. Semuanya dipadupadankan dengan kualitas visualisasi yang memanjakan mata.

Terlepas dari nama “aneh” Village yang ia usung, Resident Evil Village memang diposisikan sebagai seri sekuel dari Resident Evil 7. Bertahun-tahun setelah apa yang terjadi di Lousiana, Ethan dan Mia terlihat menjalani hidup normal nan bahagia bersama. Kini dengan anak mereka yang masih bayi, Rosemary. Namun tiba-tiba segala sesuatunya berubah hanya dalam waktu satu malam saja.

Chris Redfield yang di awal membantu proses transisi hidup normal Ethan tiba-tiba menyerang kediaman mereka, dengan tim dan senapan mesin. Ia berhasil menghabisi Mia dan menculik Rose serta Ethan yang di saat itu, geram dan kebingungan. Dalam kondisi tidak sadar diri dan terbangun di sebuah lokasi yang misterius, Ethan berujung terdampar di sebuah desa misterius yang ternyata memuat terror yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tidak lagi dihuni banyak penduduk di sekitar, ia justru dibanjiri makhluk lycan yang dengan nyamannya, terus berburu dan menyantap manusia.

Di tengah situasi kacau tersebut, Ethan menemukan bahwa Rose seharusnya berada di desa yang sama. Proses investigas membuatnya memahami bahwa untuk bisa kembali menemukan anak yang ia cintai, ia harus menundukkan 4 orang Lords yang menguasai sang desa di bawah kepimpinan sosok misterius bernama Mother Miranda. Salah satu Lords ini disinyalir Ethan, menawan Rose. Namun seperti yang bisa diprediksi,  benar-benar tidak ada satupun hal yang normal di desa ini. Monster, terror, dan lebih banyak masalah yang menyerupai apa yang sempat ia temui di Lousiana, kini kembali menghantuinya.

RE Engine adalah salah satu inovasi terbaik yang dikeluarkan Capcom selama setidaknya 5 tahun terakhir, ini sepertinya jadi fakta yang tidak terbantahkan. Dipamerkan di Resident Evil 7 dan kemudian dijadikan basis untuk lebih banyak franchise raksasa mereka, dari Devil May Cry hingga Monster Hunter, engine ini tidak hanya menjamin kualitas visual memanjakan mata tetapi juga performa yang terhitung stabil dan optimal, baik di PC ataupun konsol. Yang menarik di Resident Evil Village? Mereka sepertinya berhasil membawa engine ini setidaknya, satu level lebih tinggi. Cukup untuk membuat Anda memahami bahwa klaim mereka di awal untuk mendorong game ini hanya di konsol generasi terbaru dan PC bukanlah sesuatu yang berlebihan. Resident Evil Village memang tampil memesona.

Memainkannya di Playstation 5 yang juga sudah mendukung ray-tracing di framerate yang terhitung stabil, Resident Evil Village siap membuat Anda terkesima dari menit Anda mencicipinya. Dari hal sesederhana model karakter yang saat ini terlihat jauh lebih detail dibandingkan Resident Evil 7, hingga sistem tata cahaya dalam ruangan yang terlihat lebih dramatis. Anda juga bisa melihat bahwa sebagian besar tekstur objek di dalam ruangan kini terlihat lebih baik, walaupun harus diakui, tidak kesemuanya memesona. Setidaknya di versi Playstation 5, Anda akan masih menemukan objek seperti tumpukan jerami atau tekstur jalanan yang tidak terlihat sepadan dengan detail objek lainnya yang Anda temui.

Kemampuan Capcom untuk membuat si desa alias “Village” terasa seperti sebuah lokasi yang mencekam juga pantas untuk diacungi jempol. Anda bisa memahami dari awal bahwa ini adalah desa yang sudah porak-poranda karena banyak alasan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Village kemudian menjadi hub untuk setidaknya 4 lokasi berbeda yang masing-masing punya tema, yang desainnya juga memesona. Kita bicara dari kastil milik Dimitrescu yang terlihat seperti sesuatu yang Anda temukan di abad pertengahan hingga pabrik milik Heisenberg yang dipenuhi dengan metal dan jalur proses produksi monster yang cukup untuk membuat bulu kuduk Anda merinding. Tentu saja, puja-puji juga pantas untuk diarahkan untuk desain kelima tokoh antagonis yang Anda temui nantinya.

Terlepas dari apakah Anda menyukai hype yang mengitari sosok Lady Dimitrescu di semua kampanye marketing Capcom selama beberapa bulan terakhir ini, sulit untuk tidak mengakui bahwa ia datang sebagai tokoh antagonis brilian, begitu juga dengan Heisenberg dan dua Lords yang lain. Setidaknya ia kian mendorong posisi Resident Evil sebagai game “survival horror” yang tidak lagi banyak peduli soal kebutuhan untuk tetap berdiam di akar dunia nyata. Setiap antagonis ini datang dengan monster yang unik dan terasa familiar di saat yang sama bagi para penggemar Resident Evil. Sayangnya, kreativitas tokoh antagonis utama ini tidak sepadan dengan desain monster lain yang Anda temui sepanjang jalan, yang harus diakui, tak seberapa kreatif. Agak mengecewakan bahwa yang Anda temui sebagian besar adalah lycan dengan bentuk mirip satu sama lain. Di Resident Evil 2 Remake misalnya? Para zombie setidaknya punya jenis kelamin, pakaian, hingga ukuran tubuh berbeda-beda untuk membuat Anda merasa bahwa mereka semua ini, sebelumnya manusia.

Highlight tersendiri pantas diberikan untuk implementasi DualSense dan 3D Audio yang terhitung memesona untuk Anda yang menikmatinya di Playstation 5. Adaptive Trigger akan membuat aksi tembak Anda terasa berbeda satu sama lain, dengan sedikit “perlawanan” saat menggunakan senjata tertentu. Kuatnya perlawanan beberapa senjata, terutama handgun memang bisa terasa mengganggu, apalagi saat Anda hendak memuntahkan peluru dengan cepat di tengah situasi kepanikan. Sementara untuk sisi audio, walaupun tidak secara terbuka menuliskan “3D Audio” sebagai fitur, Anda tetap akan bisa menikmati sisi audio dengan detail bahkan ketika menggunakan earphone / headset biasa sekalipun.

Sementara untuk urusan desain audionya sendiri, Capcom memastikan elemen ini bekerja dalam kapasitas yang seharusnya. Anda memang tidak akan diberi ragam musik yang pantas masuk dalam library Spotify Anda ala “Aunt Rhody” yang di Resident Evil 7, bahkan dijadikan sebagai tumpuan marketing. Namun Capcom sepertinya memahami kapan tepatnya mereka harus mendorong kesunyian dan kapan mereka harus menyuntikkan musik belakang layar untuk membangun atmosfer yang ada. Ketika sunyi, ada begitu banyak detail suara mengemuka yang bisa menyediakan informasi atau justru, membuatnya kian mencekam. Bagian terfavorit kami? Tentu saja chanting yang terjadi di pertarungan boss terakhir, yang membuat sosoknya terasa lebih mencekam dan misterius di saat yang sama. Untuk urusan yang satu ini, Capcom pantas dipuja-puji.

Maka dengan semua kombinasi ini, Capcom harus diakui berhasil membawa RE Engine ke level yang baru dengan Resident Evil Village ini, terutama saat kita bicara soal betapa dramatisnya sistem tata cahaya indoor, desain dunia, hingga desain karakter antagonis utama yang mesti Anda tundukkan. Seri ini membuat kami penasaran ingin melihat seberapa jauh RE Engine bisa didorong dengan masa hidup konsol generasi terbaru yang masih muda.

Satu hal yang akan langsung Anda sadari saat memainkan Village adalah ambisi jelas Capcom untuk memperluas segala sesuatunya dibandingkan seri sebelumnya. Perluasan pertama datang dari seri lore yang tanpa spoiler, bisa kami konfirmasikan berhasil menjelaskan beberapa “lubang” cerita yang sempat dikeluhkan gamer baik untuk seri ini ataupun seri sebelumnya. Perluasan kedua datang dari desain “tempat bermain” yang kini tidak lagi terjebak di dalam sebuah rumah raksasa dengan struktur kompleks berisikan monster di dalamnya. Kata “Village” di dalam Resident Evil Village memang mengacu pada definisi desa yang seharusnya, namun ia tidak lantas jadi setting utama. Sang desa lebih berperan sebagai sebuah hub.

Sebuah hub yang bertempat di tengah-tengah area, dimana Anda harus melewatinya sebelum bisa bergerak menundukkan 4  orang Lords di bawah Mother Miranda yang masing-masing menetap di kediaman yang berbeda. Posisinya sebagai sebuah hub tidak lantas membuat si Village ini sendiri “damai” dan tenang. Proses transisi antara menundukkan satu Lord ke Lord lain, yang berjalan linear dan bergerak dalam sekuens spesifik (tidak bisa Anda pilih mana duluan ala Megaman), biasanya akan mengubah sesuatu juga di Village itu sendiri. Ini berarti ada kesempatan untuk mengakses lebih banyak lokasi, mendapatkan lebih banyak resource, dan kemungkinan bertemu dengan ancaman yang baru.

Namun setidaknya, posisi Anda berada di Village akan jauh lebih “santai” dibandingkan pada saat Anda berkunjung ke masing-masing lokasi para Lord dimana Anda akan diminta untuk menyelesaikan apapun misi di sana, sebelum Anda bisa kembali di desa. Di desa ini, selain berburu resource yang akan bertambah seiring lebih banyak key item yang Anda kunci. Anda juga bisa berkunjung ke The Duke yang selalu tersedia di sini. The Duke sendiri berperan ala merchant Resident Evil 4, dimana Anda bisa menjual harta karun Anda, membeli item dan senjata, melakukan upgrade untuk membuat senjata-senjata tersebut menguat, dan juga memintanya memasak makanan berbasis resource yang Anda kumpulkan dari binatang yang Anda bunuh, untuk mendapatkan buff permanen bagi Ethan. Tentu saja, selalu ada mesin ketik untuk save di sini.

Maka langkah selanjutnya adalah bergerak menuju ke lokasi masing-masing Lord untuk mendorong sisi cerita. Yang unik? Alih-alih membuatnya sama, Capcom membuat lokasi empat Lords ini sebagai empat wilayah dengan tema yang berbeda-beda. Tema bukan hanya soal setting uniknya saja, tetapi juga memuat pendekatan gameplay yang unik pula. Ada kesan bahwa mereka berusaha menerapkan gameplay dan konten yang sempat populer dan dicintai di seri Resident Evil masa lalu untuk masing-masing wilayah ini.

Di kastil milik Lady Dimitrescu, Anda bertemu dengan sensasi Resident Evil klasik. Anda terperangkap di sebuah struktur besar nan luas yang dipenuhi dengan puzzle yang menuntut Anda untuk mengitari beragam  lokasi untuk item-item kunci sembari membunuh beberapa ancaman yang muncul dengan senjata yang Anda miliki. Tentu saja, ada pertarungan mini boss di sini, yang butuh sedikit strategi dan banyak peluru untuk ditundukkan. Anda juga mendapatkan suntikkan sensasi Resident Evil 2 dan 3 lewat sosok Lady Dimitrescu yang akan terus mengejar Anda, melintasi ruang ketika mendekati konklusi cerita untuk wilayah yang satu ini.

Wilayah kedua adalah milik Beneviento yang justru meminjam salah satu misi di Resident Evil 7, dimana ia tidak mengusung sisi aksi sama sekali. Di sesi wilayah yang terhitung singkat yang satu ini, Capcom seolah hendak membuktikan diri bahwa mereka masih punya taji untuk meracik game horror yang sesungguhnya – dimana atmosfer super mencekam yang muncul akan cukup untuk membuat Anda berteriak seperti anak kecil. Rumah milik Beneviento memang terhitung lebih kecil dibandingkan Lady Dimitrescu, namum ia dibangun dengan menjadikan hanya puzzle sebagai tantangan utama. Ini menjadi wilayah terfavorit kami karena elemen horror yang ia tawarkan, benar-benar efektif. Sebuah ruang padat yang mampu menawarkan ketakutan yang lebih kuat dan padat dibandingkan keseluruhan seri Resident Evil 7 sekalipun.

Kemudian bergerak ke wilayah rawa nan menjijikkan milik Moreau yang jadi wilayah “paling Resident Evil 4” dibandingkan semua wilayah yang lain. Pertarungan melawan ikan raksasa yang ia jadikan higlight, sekaligus bagaimana perahu berujung jadi moda transportasi akan membawa Anda pada memori indah bersama si poni lempar – Leon di Resident Evil 4 dulu. Selanjutnya adalah lokasi milik Heisenberg yang membawa sisi aksi Resident Evil Village ke level yang baru. Tanpa puzzle dan berisikan musuh demi musuh, yang hadir alot dan butuh banyak peluru untuk ditundukkan, sisi yang satu ini akan menguji seberapa efektif proses distribusi resource dan mata uang Anda ke The Duke selama beberapa level terakhir.

Bersama dengan progress-progress ini, Anda juga akan dimanjakan dengan beberapa lokasi non-misi yang bisa Anda kunjungi untuk mendapatkan lebih banyak resource. Beberapa di antaranya memang terlihat begitu jelas, seperti lokasi rumah di Village yang terkunci dan butuh strategi atau kunci spesifik untuk dibuka. Namun tidak sedikit pula yang datang cukup “tersembunyi”, dimana Anda butuh bergerak ke lokasi yang baru, yang tidak akan  bisa Anda buka sampai Anda berhasil mengunci item penting spesifik. Untuk urusan terakhir ini, ia bahkan bisa berujung menjadi senjata baru nan mematikan yang akan membuat perjalanan Anda lebih mudah nantinya. Village setidaknya menyediakan ekstra motivasi untuk eksplorasi, alih-alih hanya bergerak dari satu lokasi Lord ke Lord yang lainnya.

Maka dengan desain seperti ini, di luar wilayah milik Beneviento yang berfokus pada sisi horror, Anda kini akan memerankan Ethan yang akan lebih aktif menekan pelatuk senjata yang ia miliki daripada berlari kesana-kemari. Alasan sama yang membuat kami bergerak ke topik pembahasan selanjutnya.